Sengketa Sipadan dan Ligitan
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah
persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang
berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan dan pulau Ligitan.
Persengketaan antara Indonesia dengan
Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut
antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan
pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar
Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi
ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru
yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai
tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak
Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi
tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini
selesai.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan
dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in
Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain
menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan beberapa negara
Asean lainnya.
Pada tahun 1998 masalah sengketa
Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ (International Court of Justice), kemudian
pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus
sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia.
Hasilnya, dalam voting di lembaga
itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak
kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI,
sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh
Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas
maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan
operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sekarang, sengketa ini sudah
diselesaikan secara damai melalui hasil Mahkamah Internasional di tahun 2002.
Comments
Post a Comment